Konservasi di TNS Menunggu Data Hasil Ilmiah Yang Falid

CM, MALUKU

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dr. Ir. Erawan Asikin, M.Si dalam pernyataan sebelumnya yang menyebut bahwa rencana konservasi perairan di wilayah Teon, Nila, dan Serua (TNS) belum tentu jadi, sempat menimbulkan tanda tanya di kalangan publik. Namun Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, Dr. Ir. Erawan Asikin, M.Si, kembali menegaskan jika maksud dari pernyataannya tersebut bukan berarti menolak, melainkan menunggu hasil data ilmiah yang valid dari lapangan.

Hal itu disampaikannya saat ditemui wartawan di Kantor DKP Maluku, Rabu (23/7/2025), usai membuka kegiatan Lokakarya Hasil Survei dan Penyusunan Rencana Kelompok Kerja (Pokja) Penetapan Kawasan Konservasi Perairan TNS.

“Yang saya maksud waktu itu, belum tentu jadi itu bukan berarti tidak ada kegiatan. Tapi kita tunggu dulu hasil ilmiah dari survei lapangan. Harus ada data dulu, baru bisa kita nilai: apakah layak ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau tidak,” ujar Asikin.

Menurutnya, berdasarkan paparan hasil survei dari para ahli, seperti Prof. Gino, ditemukan dua Spawning Aggregation Sites (Spak) di wilayah tersebut, yaitu lokasi penting tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Keberadaan dua Spak itu dinilai sangat signifikan karena mendukung spill over effect ke wilayah perairan sekitarnya, yang berarti memberi dampak positif bagi kelangsungan perikanan tangkap.

“Kalau kita biarkan terus tanpa perlindungan, lama-lama ikan bisa habis. Laut Banda itu sudah harus kita lindungi,” tegasnya.

Soal Kewenangan Konservasi Terkait batas kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, Asikin menjelaskan bahwa telah diatur dalam regulasi, yakni:

0–12 mil laut merupakan kewenangan pemerintah provinsi di atas 12 mil adalah kewenangan pemerintah pusat (KKP)

0–2 mil juga bisa dikelola oleh masyarakat hukum adat (MHA), dengan memenuhi tujuh syarat tertentu.

“Dalam kasus TNS ini, wilayahnya berada di bawah kewenangan provinsi, sekitar 650 hektar lebih. Namun tidak menutup kemungkinan pusat juga terlibat dalam proses pendampingan,” katanya.

Ia menyebutkan bahwa meskipun pemerintah memegang kendali, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi menjadi kunci keberhasilan. Konsep pengelolaan yang akan dikembangkan adalah multi-stakeholder governance di mana masyarakat, termasuk mata rumah atau marga, bisa menjadi bagian dari lembaga pengelola.

“Nanti dirumuskan bersama lewat Rencana Pengelolaan Konservasi (RPK), masyarakat mau bagaimana, siapa yang ambil bagian, semua bisa, asal sesuai aturan. Pemerintah bantu, tapi masyarakat yang harus aktif,” jelasnya.

Asikin juga mencontohkan inisiatif serupa di wilayah Hukurila, di mana DKP Maluku bersama KKP telah membantu pembentukan sebelas MHA dalam rangka pengelolaan berbasis adat.

“Yang penting kita sepakat untuk menjaga laut kita, karena kalau tidak, anak cucu kita yang akan rugi,” pungkasnya.(CM)