Program ARUMBAE Diluncurkan untuk Perkuat Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Maluku

CM, MALUKU

Pemerintah Provinsi Maluku bersama Pemerintah  Kabupaten Maluku Tengah dan Yayasan IPAS Indonesia resmi meluncurkan program  ARUMBAE (Perempuan Mampu dan Berdaya untuk Bebas dari Kekerasan).  

Program ini dirancang untuk memperkuat penanganan kasus kekerasan terhadap  perempuan dan anak di wilayah kepulauan secara holistik dan komprehensif. 

Peluncuran ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman dan kerja sama di  Kantor Gubernur Maluku, Rabu, 3 September 2025. 

Menurut data Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) Kementerian Pemberdayaan  Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang 2024 tercatat 502 kasus kekerasan  terhadap perempuan dan anak di Maluku.  

Dari jumlah tersebut, 186 kasus di antaranya berupa kekerasan seksual. 

Secara  nasional, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Indonesia 2024 menyebut satu dari  empat perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. 

Tingginya angka ini menegaskan urgensi implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal 66 ayat (1) UU tersebut  menekankan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. 

Pada kesempatan ini, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa menyatakan, program  ARUMBAE merupakan langkah nyata memperkuat sistem layanan terintegrasi,  meningkatkan kapasitas tenaga layanan, serta melibatkan masyarakat dalam upaya  pencegahan dan penanganan kekerasan. 

“Saya berharap kolaborasi ini dapat menjadi contoh bagaimana layanan bagi korban  kekerasan perempuan dan anak bisa dilakukan efektif di wilayah kepulauan,” ujar  Hendrik. 

Program ARUMBAE akan berjalan selama tiga tahun di Provinsi Maluku dan Kabupaten  Maluku Tengah. Selain pemerintah daerah, program ini juga menggandeng penyedia  layanan, organisasi lokal, serta komunitas untuk memastikan korban mendapatkan  perlindungan dan dukungan yang layak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia, dr. Marcia Soumokil, MPH,  menambahkan, program ini akan memperkuat inovasi layanan bagi korban, khususnya  pada aspek kesehatan.

“Seperti diamanatkan UU TPKS, akses layanan kesehatan berkaitan erat dengan hak  korban untuk mendapatkan penanganan dan pemulihan secara menyeluruh,” jelasnya. 

Marcia menekankan pentingnya pendekatan berbasis konteks kepulauan, mengingat  tantangan geografis yang dihadapi korban dalam mengakses layanan. Menurutnya,  Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan model layanan yang adaptif dan  inklusif. 

Tentang Yayasan IPAS Indonesia 

Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia merupakan Mitra  untuk Keadilan Reproduksi yang berdiri sejak 2018 dan terdaftar di Kementerian Hukum  dan HAM RI.  

IPAS Indonesia bekerja pada isu keadilan gender, keadilan iklim, pengurangan stigma,  keluarga berencana, asuhan pasca keguguran, kekerasan berbasis gender dan seksual,  serta promosi kebijakan berbasis bukti.(CM)